PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya
sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Komoditas
kakao menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang
devisa negara, setelah komoditas karet dan CPO. Pada 2006 ekspor kakao mencapai
US$ 975 juta atau meningkat 24,2% dibanding tahun sebelumnya (Suryani dan
Zulfebriansyah, 2005).
Semakin meningkatnya produksi kakao baik
karena pertambahan luas areal pertanaman maupun yang disebabkan oleh
peningkatan produksi per satuan luas, akan meningkatkan jumlah limbah buah kakao. Komponen limbah
buah kakao yang terbesar berasal dari kulit buahnya atau biasa disebut pod
kakao, yaitu sebesar 75 % dari total buah (Ashadi, 1988). Jika dilihat dari
data produksi buah kakao pada tahun 2006 yang mencapai 779,5 ribu ton, maka
limbah pod kakao yang dihasilkan sebesar 584,6 ribu ton. Apabila limbah pod
kakao ini tidak ditangani secara serius maka akan menimbulkan masalah
lingkungan.
Pod buah kakao merupakan limbah perkebunan kakao yang sangat potensial dan
mempunyai nilai produktif yang bisa dikembangkan para petani. Pod kakao
merupakan limbah lignoselulosik yang mengandung lignin, selulosa dan
hemiselulosa. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ashadi mengenai
pembuatan gula cair dari pod kakao didapatkan data mengenai komposisi buah
kakao dan kandungan kimiawi pod kakao. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pod kakao mengandung 20.11 %
lignin, 31.25 % selulosa, dan 48.64 % hemiselulosa. Kandungan selulosa dan
hemiselulosa pada pod kakao cukup potensial untuk diolah lebih lanjut menjadi
produk bernilai ekonomi. Salah satunya yaitu etanol.
Etanol yang berasal dari gula dan pati dalam jangka panjang kurang
ekonomis. Hal ini karena sumber pertanian yang banyak mengandung gula dan pati
digunakan sebagai pangan dan pakan. Altenatif solusinya yaitu membuat etanol
dari selulosa yang juga merupakan polimer glukosa. Namun, pembuatan etanol dari selulosa memerlukan
tahapan sebelum dilakukan fermentasi. Hal ini karena struktur selulosa yang
lebih kompleks sehingga harus dirombak agar fermentasi untuk menghasilkan
etanol dapat berlangusung dengan optimal. Menurut Shofiyanto (2008), bahan selulosa pada
limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk produksi etanol dengan
melakukan hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan gula sederhana yang kemudian difermentasi oleh khamir untuk
menghasilkan etanol.
Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan
penambahan asam, seperti asam sulfat dan asam klorida. Selain itu, hidrolisis
dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut hidrolisis
enzimatis. Enzim tersebut merupakan enzim selulase atau lainnya yang dapat
memecah selulosa menjadi monomer-monomernya. Keuntungan dari hidrolisis enzimatis
yaitu dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat meminimalisir efek
negatif terhadap lingkungan. Namun, penggunaan enzim memerlukan biaya yang
lebih mahal daripada asam. Setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi
menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi
menjadi etanol.
Tujuan
Gagasan tertulis ini bertujuan untuk
memberikan solusi pemanfaatan pod kakao yang merupakan limbah terbesar dari
perkebunan atau industri pengolahan kakao. Pod kakao tersebut dapat diolah
menjadi produk yang mempunyai nilai tambah tinggi yaitu etanol. Etanol dari pod
kakao yang merupakan limbah lignoselulosa merupakan etanol generasi kedua yang
menjadi harapan solusi bahan bakar masa depan.
TELAAH PUSTAKA
Pod Kakao (Theobroma cacao)
Pod kakao merupakan bagian mesokarp atau dinding buah kakao yang mencakup
kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Pod buah kakao merupakan bagian terbesar dari buah
kakao. Komposisi bagian-bagian buah kakao dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Buah Kakao
Komponen
|
Presentase (DB)
|
Pod (kulit buah)
|
75.70
|
Biji dan pulp
|
21.18
|
Plasenta
|
2.6
|
Sumber : Ashadi, 1988
Pod kakao merupakan
limbah lignoselulosik. Lignoselulosa merupakan komponen berenergi terbesar yang
dimiliki oleh limbah. Limbah lignoselulosik dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol,
sehingga menghindari persaingan dengan bahan pangan. Lignoselulosa terdiri atas
tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang saling
terikat erat membentuk satu kesatuan. Komposisi kimia pod kakao disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Komposisi
Kimia Pod Kakao
No
|
Komponen
|
Persentase (DB)
|
1
|
Kadar air
|
12.96
|
2
|
Kadar abu
|
11.10
|
3
|
Kadar Lemak
|
1.11
|
4
|
Kadar Protein
|
8.75
|
5
|
Kadar Karbohidrat
|
16.27
|
6
|
Kadar Lignin
|
20.11
|
7
|
Kadar Selulosa
|
31.25
|
8
|
Kadar Hemiselulosa
|
48.64
|
Sumber : Ashadi, 1988
Lignin tersusun atas
jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa dan
hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat. (Sun dan Cheng, 2002) Struktur kimia lignin mengalami
perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan
temperature tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang lebih
kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008).
Selulosa merupakan
polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa yang terikat dengan ikatan
b-1,4-glikosidik.
Molekul selulosa merupakan mikrofibil dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya
membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Hidrolisis sempurna selulosa akan
menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak
sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et al., 1982). Selulosa dapat
dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya
glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.
Hemiselulosa merupakan
polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa.
Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai
permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa (Oshima, 1965).
Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula. Namun, berbeda
dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa tersusun dari
bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri dari
monomer gula berkarbon lima
(C-5) dan gula berkarbon enam (C-6). Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis
daripada selulosa, tetapi gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol
daripada gula C-6. (Perez et al., 2005)
Proses
Produksi Etanol
Pretreatment limbah lignoselulosa harus
dilakukan untuk meningkatkan hasil gula yang diperoleh dari tahapan hidrolisis.
(Mosier, et al., 2005). Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis
(Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Tujuan pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer
polisakarida menjadi monomer gula. Proses penggiling merupakan salah satu sara
pretreatment limbah lignoselulosa. Tujuan dari penggilingan yaitu memperkecil
ukuran bahan selulosa dan memecah ikatan kimia pada rantai molekul yang
panjang. Proses ini tidak dapat menghilangkan lignin, tetapi akan memepermudah
perlakuan selanjutnya.
Hidrolisis adalah salah
satu tahapan dalam pembuatan etanol berbahan baku limbah lignoselulosa. Hidrolisis
bertujuan untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa
& xylosa) yang selanjutnya akan difermentasi menjadi etanol. Secara umum
teknik hidrolisis dibagi menjadi dua, yaitu: hidrolisis berbasis asam dan
hidrolisis dengan enzim. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa,
sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan
heksosa (C6).
Proses hidrolisis bahan
lignoselulosa secara asam telah dilakukan sejak awal abad 20. Proses hidrolisis asam dapat dikatakan
sederhana dan langsung diketahui hasilnya, namun memiliki beberapa kekurangan.
Proses hidrolisis asam sering menghasilkan produk campuran glukosa, selobiosa,
dan produk hidrolisis hemiselulosa, serta degradasi produk dari pemecahan
monomer gula menjadi aldehid dan keton. Rendemen glukosa yang tinggi dapat
dihasilkan dari hidrolisis asam bila dicapai kondisi yang optimum.
Pada metode hidrolisis asam, limbah lignoselulosa dipaparkan dengan asam
pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu. Proses hidrolisis asam
menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam
yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat, asam
perklorat, dan asam klorida.
Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan cukup lama.
Braconnot di tahun 1819 pertama kali menemukan bahwa selulosa dapat dikonversi
menjadi gula (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat
menghasilkan gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan dengan
hidrolisis asam encer, dan dengan demikian akan menghasilkan etanol yang lebih
tinggi (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).
Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap (two stage acid hydrolysis) dan merupakan
metode hidrolisis yang banyak dikembangkan dan diteliti saat ini. Hidrolisis
asam encer pertama kali dipatenkan oleh H.K. Moore pada tahun 1919. Kelemahan
dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula yang dihasilkan melalui proses
hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan. Degradasi gula
dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen gula, tetapi
produk samping juga dapat menghambat pembentukan etanol pada tahap fermentasi
selanjutnya (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Jika hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam pekat akan memepercepat
proses hidrolisis tetapi akan menurunan hasil hidrolisis karena glukosa mudah
sekali diuraikan. Sedangkan jika menggunakan asam encer proses hidrolisis akan
berlangsung lambat karena adanya daya tahan dari kristal selulosa, tetapi dapat
mengurangi penguraian glukosa oleh asam.
Berdasarkan penelitian Ashadi (1988), kadar glukosa yang dihasilkan dari
proses hidrolisis dipengaruhi oleh konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis.
Peningkatan konsentrasi asam yang digunakan akan menurunkan glukosa yang dihasilkan
karena glukosa yang terbentuk akan terdegradasi lebih lanjut. Menurut Grethlein
(1984), pada hidrolisis dengan menggunakan asam pada konsentrasi tinggi, gula
yang dihasilkan akan diubah menjadi senyawa-senyawa furfural yang akan
menghambat proses fermentasi.
Lama waktu hidrolisis mempengaruhi proses degradasi selulosa menjadi
glukosa dan juga memepengaruhi degradasi glukosa sebagai produk. Waktu
hidrolisis yang melebihi waktu optimum akan mendegradasi glukosa menjadi
komponen-komponen yang lebih sederhana yang biasanya bersifat racun terhadap
mikroorganisme (Grethlein, 1984).
Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan
mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim. Hidrolisis
enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara
lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih
lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan
biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif
(Taherzadeh & Karimi, 2007). Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatis
antara lain adalah membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat
oleh produk. Selain itu, enzim bekerja secara spesifik dan tidak bisa menembus
lignin yang mengikat selulosa dan hemiselulosa. Sehingga sebelum dihidrolisis
secara enzimatis, limbah lignooselulosik harus mengalami proses penghilangan
lignin atau biasa disebut delignifikasi. Harga enzim yang relatif lebih mahal
dibandingkan asam juga menjadi kerugian penggunaan hidrolisis enzimatis. (Palonen,
2004)
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak, atau sejenisnya melalui kegiatan katalis biokimia
yang dikenal sebagai enzim yang dihasilkan oleh mikroba spesifik (Prescott dan
Dunn, 1981). Khamir mampu mengkonsumsi berbagai substrat gula, tergantung
spesies yang digunakan. Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan
memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada pH 3.5 – 6 dan suhu 28 –
35 oC.
METODE PENULISAN
Penulisan
gagasan pemanfaatan limbah pod
kakao untuk menghasilkan etanol sebagai
sumber energi terbarukan ini didasari
dari data-data mengenai jumlah limbah pod kakao yang begitu banyak dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Apabila tidak ditangani dengan baik maka limbah pod kakao ini
akan menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat khususnya petani kakao.
Berdasarkan data tersebut maka dibuat solusi untuk pemanfaatan pod kakao.
Perumusan
solusi untuk mengatasi masalah ini diperoleh dari berbagai literatur seperti buku,
jurnal dan skripsi sehingga memberikan gambaran yang mendukung tentang pemanfaatan limbah kakao yang sudah ada. Berdasarkan gambaran dan informasi yang telah
diperoleh kemudian dirancang suatu solusi tentang pemanfaatan limbah pod kakao
menjadi produk yang memiliki nilai guna tinggi, yaitu etanol. Setelah itu
dilakukan diskusi dengan dosen terkait untuk memberikan masukan dan perbaikan
pada solusi yang ditawarkan.
ANALISIS DAN SINTESIS
Analisis Permasalahan
Kakao merupakan komoditas yang sedang digalakkan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari luas areal
perkebunan dan produktivitas yang terus mengalami pertumbuhan. Peningkatan produksi kakao tentu akan
meningkatkan jumlah limbah pod kakao yang dihasilkan. Pod kakao merupakan limbah terbesar dari
perkebunan atau industri pengolahan kakao. Jumlahnya mencapai 75 % dari bobot
buah kakao. Jika dilihat dari data produksi buah kakao yang mencapai 779,5 ribu
ton, maka limbah pod kakao yang dihasilkan sebesar 584,6 ribu ton/tahun. Sampai
saat ini pod kakao belum dimanfaatkan secara optimal. Pod kakao merupakan
limbah lignoselulosa yang mengandung komponen utama berupa lignin, selulosa,
dan hemiselulosa. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ashadi
mengenai pembuatan gula cair dari pod kakao, didapatkan data mengenai komposisi
buah kakao dan kandungan kimiawi pod kakao. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pod kakao mengandung
20.11 % lignin, 31.25 % selulosa, dan 48.64 % hemiselulosa. Kandungan
selulosa pada pod kakao cukup potensial untuk diolah lebih lanjut menjadi
produk bernilai ekonomi. Salah satunya yaitu etanol.
Etanol yang berasal dari gula dan pati dalam jangka panjang kurang
ekonomis. Hal ini karena sumber pertanian yang banyak mengandung gula dan pati
digunakan sebagai pangan dan pakan. Altenatif solusinya yaitu membuat etanol
dari selulosa yang juga merupakan polimer glukosa. Namun, pembuatan etanol dari selulosa memerlukan
tahapan pendahuluan sebelum dilakukan fermentasi. Hal ini karena struktur
selulosa yang lebih kompleks sehingga harus dirombak agar fermentasi untuk
menghasilkan etanol dapat berlangusng dengan optimal.
Tahapan awal dalam pembuatan etanol dari pod kakao adalah menyiapkan bahan
baku berupa pod kakao agar siap untuk tahapan selanjutnya. Pod kakao yang telah dipisahkan dari bijinya mengandung
kadar air yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa langsung digunakan. Selain
itu, pod kakao memiliki ukuran yang cukup besar sehingga perlu dilakukan
pengecilan ukuran agar mudah dalam proses pengerjaan selanjutnya.
Tahapan proses yang penting dalam menghasilkan etanol dari pod kakao adalah
hidrolisis dan fermentasi. Melalui proses hidrolisis, selulosa pada pod kakao
akan dirombak menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan diuraikan menjadi
monomer penyusunnya yaitu gula pentosa dan heksosa. Namun, adanya lignin yang
terikat bersama dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk struktur serat
menjadi rintangan tersendiri dalam proses hidrolisis selulosa. Lignin tersusun
atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa sehingga
menjadi sangat kuat.
Apabila hidrolisis dilakukan dengan menggunakan metode asam, maka pemecahan
ikatan lignin dapat dilakukan secara bersamaan dengan perombakan selulosa dan
hemiselulosa menjadi monomernya. Hal ini menjadikan proses hidrolisis menjadi
lebih singkat dan efisien. Konsekuensinya adalah kandungan hidrolisat yang
dihasilkan tidak spesifik, tetapi mengandung berbagai macam monomer gula dari
polimer selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, kemungkinan terjadinya
perombakan produk gula yang dihasilkan menjadi senyawa lain seperti furfural
sangat mungkin terjadi. Apalagi jika asam yang digunakan berkonsentrasi tinggi.
Hidrolisis secara enzimatis memerlukan waktu dan tahapan yang lebih panjang
dibandingkan dengan hidrolisis asam. Pada hidrolisis enzimatis lignin harus
dihilangkan terlebih dulu. Lignin dapat menjadi penghalang penetrasi enzim ke
selulosa, sehingga penghilangan lignin merupakan hal yang harus dilakukan jika
ingin didapatkan kondisi hidrolisis yang optimal. Proses penghilangan lignin
biasa disebut delignifikasi. Setelah mengalami delignifikasi selanjutnya
dilakukan hidrolisis menggunakan enzim. Enzim merupakan katalis
spesifik yang hanya dapat bekerja pada substrat tertentu yang sesuai, sehingga
penanganan untuk hidrolisis enzimatis menjadi lebih kompleks.
Hidrolisat yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan digunakan oleh
mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Pada umumnya
proses fermentasi dilakukan oleh khamir, sehingga diperlukan kondisi yang optimum agar perombakan glukosa menjadi
etanol dapat berlangsung dengan optimal.
Sintesis Pemecahan Permasalahan
Pengolahan pod kakao menjadi etanol melalui
beberapa tahapan yang memiliki ciri khas masing-masing. Tahapan awal merupakan
perlakuan pendahuluan dimana pod kakao diberi perlakuan fisik berupa pengeringan dan pengecilan ukuran menjadi bentuk bubuk. Pengecilan
ukuran dari pod kakao bertujuan untuk memutuskan struktur serat sehingga lebih
mudah untuk dihidrolisis. Selanjutnya dilakukan hidrolisis. Proses hidrolisis
terbagai menjadi dua kelompok besar yaitu dengan mengunakan asam
atau menggunakan enzim. Kedua tipe hidrolisis ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Pada hidrolisis asam dilakukan dalam
dua tahapan. Asam yang digunakan yaitu asam klorida dengan konsentrasi yang
rendah sehingga mengurangi terjadinya resiko perombakan produk gula menjadi
senyawa furfural. Pada hidrolisis pertama digunakan asam klorida dengan
konsentrasi 0,3% dengan waktu hidrolisis selama 1 jam. Hidrolisis pertama akan
memecah hemiselulosa menjadi monomernya. Hidrolisat yang dihasilkan dari
hidrolisis tahap pertama dipisahkan, sedangkan
bahan yang masih tersisa akan dihidrolisis kembali. Pada hidrolisis
kedua konsentrasi asam klorida yang digunakan lebih tinggi daripada hidrolisis
pertama yaitu 1%. Bahan yang masih tersisa sebagian besar terdiri dari
selulosa. Selulosa lebih sulit untuk dihidrolisis sehingga pada hidrolisis
kedua konsentrasi asam ditingkatkan. Hidrolisat dari hidrolisis pertama dan kedua kemudian difermentasikan dalam
fermentor.
Pada hidrolisis enzimatis, proses
didahului dengan delignifkasi yaitu penghilangan lignin. Proses penghilangan
lignin dilakukan dengan penambahan NaOH yang bertujuan untuk memecah ikatan
lignin. Selulosa kemudian dihidrolisis dengan menambahkan enzim selulase yang berfungsi untuk merombak selulosa menjadi glukosa. Hidrolisat berupa produk gula yang dihasilkan dari hidrolisis enzimatis
kemudian difermentasi dalam fermentor.
Pada
proses fermentasi digunakan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae yang
merupakan salah satu spesies
khamir. Saccharomyces cerevisiae memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat
tinggi. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30 oC dan pH
4.0.- 4.5 agar dapat tumbuh dengan baik. Waktu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal pada proses
fermentasi ini adalah 72 jam.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pod kakao merupakan komponen limbah terbesar dari buah kakao. Volume
limbah pod kakao yang begitu
besar merupakan suatu permasalahan apabila tidak ditangani dengan baik.
Alternatif penanganan limbah pod kakao yang dapat meningkatkan nilai tambah dan
bernilai ekonomi yaitu dengan mengolahnya menjadi etanol. Etanol merupakan
sumber energi terbarukan yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini
dikarenakan jumlah energi fosil yang semakin menipis sehingga
perlu dicari energi
alternatif untuk menggantikannya. Pengolahan
pod kakao menjadi etanol melalui beberapa tahapan. Hidrolisis merupakan salah
satu tahapan yang sangat penting, karena menentukan kandungan gula yang akan
digunakan untuk proses fermentasi yang menghasilkan etanol. Secara tidak langsung, kadar etanol yang dihasilkan
dari proses fermentasi berkaitan erat dengan keberhasilan proses hidrolisis.
Hidrolisis
lignoselulosa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu hidrolisis asam dan
hidrolisis enzimatis. Kedua tipe hidrolisis ini mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-msing. Hidrolisis asam lebih mudah dilakukan dan memerlukan waktu yang lebih singkat.
Biayanya pun lebih murah dibandingkan
dengan penggunaan enzim. Namun, pada hidrolisis asam dapat dihasilkan produk
samping yang dapat menggangu proses fermentasi. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan asam
dengan konsentrasi yang tepat, sehingga pembentukan produk samping dapat
diminimalisir.
Pada hidrolisis enzimatis tidak terjadi pembentukkan produk yang akan
menghambat proses fermentasi. Prosesnya
pun lebih lunak karena tidak memerlukan temperatur proses yang tinggi.
Hidrolisis enzimatis memerlukan biaya yang lebih tinggi, karena biaya
pembeliaan enzim lebih mahal dibandingkan dengan asam. Selain itu, sebelum
hidrolisis enzimatis harus dilakukan delignnifikasi untuk menghilangkan lignin.
Secara keseluruhan waktu proses yang dibutuhkan menjadi lebih lama dibandingkan
dengan hidrolisis asam.
Saran
Pemanfaatan limbah pod kakao menjadi
etanol berpotensi untuk dikembangkan lebih
lanjut. Mengingat luasnya perkebunan kakao dan produktivitasnya dalam setahun. Selain itu perlu dipikirkan solusi lain untuk memanfaatkan limbah pod kakao
yang lebih efektif dan efisien.
Jika dilihat pada tahapan prosesnya,
maka proses pembuatan etanol dari limbah pod kakao yang paling penting adalah hidrolisis.
Jika dikembangkan dalam skala besar hidrolisis asam merupakan pilihan tepat.
Pemilihan ini tentu saja memperhatikan aspek kemudahan dan finansial. Hidrolisis asam dalam skala yang
lebih besar akan lebih optimal jika menggunakan tangki berpengaduk sehingga
asam akan terpapar secara sempurna. Tetapi, hidrolisis secara enzimatis
juga sangat potensial untuk dikembangkan, karena penggunaanya aman bagi
lingkungan dan dapat menghasilkan hidrolisat glukosa dengan rendemen yang lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ashadi, R.W. 1988. Pembutaan Gula Cair
dari Pod Coklat dengan Menggunakan Asam Sulfat, Enzim, serta Kombinasi Keduanya.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Fan, L.T., Y.H. Lee, dan M.M.Gharpuray.
1982. The Nature of Lignocellulosics and Their
Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv. Bichem.
Eng.
23: 158 – 187.
Grethlein, H. E. 1984. Pretreatment for Enhanced Hydrolysis of Cellulosic
Biomass. Biotechnology Advances
2(1), 43-62.
Hamelinck, C. N.; Hooijdonk, G. v. & Faaij, A. P.
2005. Etanol from Lignocellulosic Biomass: Techno-Economic Performance in
Short, Middle, and Long-Term.
Biomass and Bioenergy 28(4), 384–410.
Moore, H.K. Process
of Making Ethyl Alcohol from Wood. 1,323,540 United State of America, 1919.
Mosier, Nathan, et
al. 2005. Features of Promising
Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Bioresource
Technology 96 , pp. 673–686.
Oshima, M. 1965. Wood Chemistry Process
Engineering Aspect. Noyes Develop.
Corp. New York.
Palonen, Hetti. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis
of Lignocellulose. VTT Biotechnology.
Perez, J. et al. 2005. Biodegradation and Biolgical Treatments of Cellulose, Hemicellulose,
and Lignin: An Overview. Int Microbiol, Vol. 5, pp. 53-63.
Prescott, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial
Microbiology. Mc Graw-Hill Book Co.Ltd. New York.
Shofiyanto, M.E. 2008. Hidrolisis Tongkol
Jagung oleh Bakteri Selulotik untuk Produksi Bietanol dalam Kultur Campuran.
Skripsi.
Sun, Y. and Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A
Review. Bioresource Technology, Vol. 83, pp. 1-11.
Suryani,
Dinie dan Zulfebriansyah. 2007. Komoditas
Kakao : Potret dan Peluang Pembiayaan. Economic Review, No. 210.
Taherzadeh, Muhammad J. and Karimi, Keikhosro. 2008. Pretreatment of Lignocellulosic Waste to
Improve Bioethanol and Biogas Production. Int. J. Mol. Sci 9, pp.
1621-1651.
Taherzadeh,
M.J. and Karimi, K. 2007. Acid-Based
Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review.
Bioresources 2(3), pp. 472-499.
penelitiannya sangat bagus kak
BalasHapusmempercepat jaringan 3